Bosan dan pengangguran adalah dua hal yang memicu lahirnya Dapur Saraswati. Mungkin kata pengangguran bisa disebut berlebihan. Karena waktu itu saya “hanya” kehilangan proyek-proyek yang dibatalkan karena kepanikan di awal pandemi. Berkat ini, saya ada banyak waktu untuk mengakali sumber makanan yang terbatas tanpa adanya kulkas di kos-kosan. Mulai dari bikin kimchi, minyak cabe (yang bisa bertahan 2 minggu tanpa perlu kulkas), sampai percobaan akal-akalan lain. Bisa dibilang Dapur Saraswati adalah proyek akal-akalan dari Prinka Saraswati, seorang copywriter, penulis serabutan, dan pengarsip kain. Akal-akalan berupa “dapur” ini sekedar mengakali hidup, keuangan, dan kesehatan mental di tengah harga sewa kos yang enggan diturunkan si bapak kos saat awal pandemi dan dapur yang harus tetap mengepul. Kebetulan bagi saya, cara mengakali hidup itu paling mudah dari mengatur biaya makan karena kebutuhan saya untuk makan mengambil porsi paling besar selain biaya sewa kos.
Dari sekedar posting foto makanan, saya mulai mengarsipkan resep. Hingga pelan-pelan, saya mulai menuliskan barang satu atau dua pendapat saya tentang kuliner di Indonesia, juga sajian tertentu dari sudut pandang sejarah dan antropologi. Perlahan pula, proyek akal-akalan ini seakan memberi harapan baru. Mungkin saja saya bisa berganti karier jadi penulis makanan atau tukang arsip makanan. Tapi sebagai anak perempuan dari keluarga yang biasa-biasa saja dan masih banyak tanggungan, saya sadar bahwa harapan memang sudah baiknya dianggap sebuah angan-angan saja. Selain itu, tidak semua hal perlu dibikin jadi mesin uang. Toh masa depan media tampak suram.
Setelah hampir 3 tahun berjalan dan berbagai negara yang saya singgahi, Dapur Saraswati kembali berbasis di Indonesia. Tentunya dengan tantangan hidup baru yang butuh diakali lagi. Menjadikan Dapur Saraswati sebagai newsletter reguler, yang terbit tiap satu bulan atau dwi-mingguan, bukan lagi tujuan utama saya. Apalagi memimpikan diri saya menulis tentang kuliner dan budaya secara penuh waktu. Saat ini, saya fokus mengatur keuangan dua rumah tangga, mengerjakan proyek yang lebih masuk akal untuk dua rumah ini, dan mengambil bagian pada kegiatan-kegiatan di rumah kecil saya. Dengan itu, Dapur Saraswati akan berjalan dengan langkah-langkah kecil yang saya jabarkan di bawah ini:
Makan Apa?
Kolom pendek tentang makanan apa yang saya makan - dengan tujuan untuk berbagi warung - warung kecil yang ramah kantong di Bali (dimana saya tinggal sekarang). Rencananya, Inchaallah, terbit dua minggu sekali dalam dwibahasa (Bahasa Indonesia dan Inggris/English). Tulisan pertama akan hadir minggu depan!
ABC…
Kolom pendek 500 kata untuk mengarsipkan berbagai sajian di Indonesia, urut diceritakan dari abjad A hingga Z. Pendeknya, sebuah kamus. Inchallah juga terbit dua minggu sekali dalam Bahasa Indonesia dan Bahasa Inggris (English). Mau dibaca A-BE-CHE bisa, dibaca A-BE-SE juga silahkan. Bebas.
Sesekali, saat saya punya tenaga dan waktu lebih, saya akan menerbitkan esai panjang yang mengulik sebuah sajian lebih dalam. Seperti yang sudah - sudah dengan Lontong Cap Go Meh , Sayur Asam , maupun pendapat receh saya seperti esai tentang bunyi dalam kuliner Indonesia . Sembari mengatur ritme newsletter ini, saya juga akan bekerjasama dengan penerjemah untuk menerjemahkan esai-esai yang sudah terbit ke dalam Bahasa Indonesia. Di tiap akhir newsletter nantinya, saya akan menyelipkan rekomendasi bacaan-bacaan tentang kuliner, sejarah, dan budaya. Dengan harapan bisa berbagi penulis-penulis dan pelaku-pelaku baru, baik dari Indonesia, maupun dari luar Indonesia.
Saya hanya bisa berharap proyek akal-akalan ini bisa terus berjalan dan menciptakan ruang untuk ngobrol tentang kuliner Indonesia yang lebih terbuka, tidak pretensius, tidak senioritas, dan yang terpenting, juga menjadi ruang untuk belajar bersama dan bertemu. Saya tidak lagi punya mimpi. Saya hanya punya rencana dan akal-akalan yang bisa saya teguhkan dengan laku dan Inchaallah.
Kalau kamu suka tulisan ini, silahkan dibagikan lewat tautan di bawah.
Foto diambil dari sebuah dinding di medina (kota tua) Casablanca, Maroko.
cant wait!