Eating with Ear (Makan Pakai Telinga)
You've probably heard "cooking with eyes" where instead of using timer and turning recipes, you simply cook with your instinct. What about eating with ear? Where listening matters as much as chewing.
In this article, I wrote down the English below - however, the captions on the photos are in two languages (Indonesian and English), So scrolled down for English version. Happy reading!
Tidak ada yang lebih kasar dari bersuara di meja makan. Kecapan adalah kata yang mendeskripsikan suara saat mulutmu terbuka dan berpadu untuk membuat suara ch-ch-chap-chap saat makan. Sering, anak - anak kecil akan disentak orang tuanya saat bersuara sembari menikmati hidangan. Sementara orang dewasa, akan dipertanyakan unggah-ungguhnya.
Apa mungkin makan tanpa bersuara?
Apa mungkin makan tanpa mendengar suara?
Untuk menjawab pertanyaan ini, tampaknya kita akan butuh waktu yang lebih panjang dan newsletter saya kayaknya cuma butuh 3 - 5 menit untuk dibaca HEHE.
Ada satu indera yang sering dilupakan saat berbicara tentang makanan. Sering kali, kita memuji rasa gurih dari bumbu yang ada di sop - rasa manis dan legit pada jajanan. Kita memuji tekstur ikan - beberapa dari kita suka Kakap, tapi ada pula yang suka tekstur Tenggiri yang lembut. Saya sendiri suka Barakuda, dagingnya tidak mudah semburat tapi halus sekali. Sering pula, kita memuji presentasi visual sebuah hidangan dan bagaimana hidangan tersebut disajikan. Restoran Gourmet menyajikan hidangan dalam porsi seiprit tapi entah kenapa bisa disajikan bak bangunan karya seorang arsitek. Sementara di Warung, tidak ada yang memperhatikan hal-hal seperti itu. Kuah gule muncrat seadanya di meja warung dan sambal pun dicipratkan dengan sendok di piring.
Tapi, pernah nggak anda sadari bagaimana telinga kita juga menikmati makanan layaknya mulut dan mata kita?
Mungkin kita nggak menikmati suara dari sesapan semangkuk Soto, tapi tentunya kita menikmati suara kriuk-kriuk dari Kremesan, kulit ayam atau babi goreng, dan sudah pasti, Kerupuk! Coba aja lah ngemil Kerupuk tanpa bersuara kalo bisa.
kaleng Kerupuk yang banyak beredar, dengan nama Mawar - an often seen Kerupuk tinbox with the name, Mawar, spray-painted on it.
Telinga kita membantu terciptanya persepsi cita rasa - renyah atau sering dibilang, kriuk-kriuk. Suara kriuk-kriuk ini pula menjadi tanda kesegaran makanan. Kriuk - kriuk menjadi tanda untuk sebuah Kerupuk yang baru saja dibuat dan tidak bantet. Persepsi Cita Rasa adalah sistem kompleks yang mengumpulkan rasa yang kita cecap, cium, dan dengar. Sejauh ini, belum ada riset yang menelusuri bagaimana suara berperan penting dalam kuliner di Indonesia. Tapi, kamu bisa berjalan kaki ke warung terdekat dan menemukan sekaleng kerupuk di ujung meja. Biasanya diberi nama Mawar atau Sari, atau dibungkus plastik kecil - kecil dan ditumpuk lalu digantung di dinding warung. Di rumahmu, mungkin Ibumu menyimpan satu wadah bulat dan tinggi yang berisi Kerupuk dan mungkin satu tupperware berisi Kremesan dari ayam goreng semalam.
“Orang Indonesia suka makan dengan suara”, William Wongso.
Coba - coba ya, bayangkan hidangan tanpa klenikan. Bubur Ayam tanpa Kerupuk dan Kacang. Soto tanpa Koya dan Kerupuk Udang. Siobak tanpa Rambak Babi. Gado-gado tanpa Emping. Pecel tanpa Peyek. Semanggi tanpa Kerupuk Puli.
Semanggi disajikan dengan lembutnya bumbu ketela dan Kerupuk Puli - Semanggi served with the smooth cassava sauce and Kerupuk Puli . (photo by localworldfood.wordpress.com)
Syobak, makanan yang diciptakan para imigran Cina di Bali, disajikan dengan Rambak (kulit babi) - Syobak, a food created by the Chinese immigrants coming to Bali in the 16th century served with Rambak (pork skin crackers)
Tanpa kriuk - kriuk dari klenikan ini, saya rasa, hidangan tersebut nggak pantas disebut hidangan utama. Pasta saja hadir dengan roti panggang untuk menyapu habis minyak zaitun atau sausnya!
Dalam kasus Bacon, Graham Norton berkata, “Kita sering berpikir bahwa rasa dan aroma dari Bacon lah yang menyihir para penikmatnya. Tapi riset kami membuktikan bahwa tekstur dan suara kerenyahannya lah yang lebih penting!”
Pentingnya suara sebagai cara otak kita mengumpulkan perasaan sebagai “rasa” sudah seringkali digunakan dalam iklan, mau itu es krim seperti Magnum maupun ayam goreng. Sehari - hari, kita akan menjumpainya di bungkus Kerupuk atau Kremesan. Kalau kamu mencari di youtube, banyak orang yang mendedikasikan diri untuk membuat video ASMR sembari mereka makan - suara saat mereka mencecap semangkuk mie maupun menyesap kopi. Ternyata, apa yang kita dengar jauh lebih penting daripada apa yang kita percaya. Kita menerima suara dan kita berusaha mempercayainya.
bungkusan Kerupuk digantung di sebuah warung kopi di Surabaya - packets of Kerupuk hang in a warung in Surabaya
Coba buka telinga lebar - lebar. Coba, ya. Apa suara yang kamu dengar di ruang makan rumahmu? Apa suara yang kamu dengar di warung dan rumah makan? Bagaimana suara yang kamu ciptakan saat kamu makan?
Suara - suara tersebut berpadu menjadi orkestra rasa!
Legit. Manis. Pahit. Asin. Gurih. Renyah. Kriuk - kriuk!!!
Siapa bilang nggak sopan dan nggak tahu unggah-ungguh kalau kamu bersuara saat makan?
Tumpukan kerupuk siap digoreng di Pasar Anyar, Singaraja - stacks of pre-made Kerupuk, ready to be deep-fried, in Pasar Anyar, Singaraja.
Selamat hari Senin atau Selasa di sana! Saya sedang menikmati Kerupuk yang saya tolet ke Blackbean Hummus bikinan Mat Solar, pasangan saya! Cakeeeep, lebih enak daripada makan hummus sama roti panggang.
Kerupuk Aci dan Blackbean Hummus (buatan Rotary, California) - Kerupuk Aci made by Rotary, California, and Blackbean Hummus
*English
There is nothing more annoying and rude than making sounds while dining together in most Indonesian culture. Kecapan is the word to describe the sound when you munch your food loudly with your mouth open while eating. In most cases, children would be scolded when they make a munching sound. While for adults, they’d be questioned for their manner.
But, is it possible to eat without making sounds?
Is it possible to eat without hearing sounds?
To answer those questions, we might take more time and my newsletter is probably enough to read for only 3 up to 5 minutes HEHE.
There is one sensory that we often forget when it comes to food. We cheer for the savoury taste in soup, gurih dan enak - the sweet taste in cake and jajan, manis dan legit. We cheer for the texture in fish - some of us like Kakap, but others like Tenggiri for its delicate meat. I personally like Barracuda, firm and smooth. We also cheer for the visual presentation of food; how it serves. Gourmet restaurants are known for the itty bitty portion but somehow very architectural plating - while in Warung, nobody would even pay much attention - gulai soup splattered on the counter, and sambal splating on plates.
But, buuuut (long one here), have you ever realized how our ears are also enjoying food as much as our mouth and eyes?
We might not enjoy the sound people made when slurping a bowl of Soto, but we definitely enjoy the sound of crackling Kremesan (deep-fried seasoned batter), deep fried chicken or pork skin, and of course, the one and only, Kerupuk! Just try munching on Kerupuk without making sounds, it’s impossible!
Our ears help defining our sense of flavour - crispy, crunchy, or in Indonesian word, kriuk - kriuk. Somehow, kriuk - kriuk indicates the freshness of food. It is the sign that a Kerupuk is not stale (bantet). Our perception of flavour - Persepsi Cita Rasa - is a complex system collecting taste, smell, and sound! I have not found any research yet about how sound matters in Indonesian food. But, you could go to a warung nearby and at the corner of the table, they will always have a kaleng (tinbox) or Kerupuk or stacks of Kerupuk packed in a cheap plastic - sold either Rp. 1.000 or Rp. 2.000. At your house, your mother probably keeps a tall round plastic container for Kerupuk and a tupperware of Kremesan from ayam goreng leftover.
“Indonesian also like to eat with sound”, William Wongso at an interview with SCMP
Think of a meal without sound. Bubur Ayam without Kerupuk and Kacang (peanuts or roasted soy beans). Soto without Koya and Shrimp Crackers. Siobak without Rambak (pork-skin crackers). Gado-gado without Emping. Pecel without Rempeyek. Semanggi without Kerupuk Puli.
Without that kriuk-kriuk, I don’t think they deserve to be called a whole meal. Even pasta comes with crispy toasted bread to sweep over the sauce!
‘We often think it’s the taste and smell of bacon that consumers find most attractive. But our research proves that texture and the crunching sound is just – if not more – important’, Graham Clayton.
The importance of sound as a way for our brain to sum feelings as “taste” is used in advertising for ice-cream or fried chicken. On a daily basis, they come in the packagings of Kerupuk or Kremesan. If you browse on youtube, people are making videos of ASMR while eating food - the sound they make when slurping a bowl of noodle or sipping coffee. Apparently, what we hear is so much more important than what we intuitively believe. We perceive the sound and we make believe.
Listen carefully to your surroundings. What are the sounds you hear in your dining room? What are the sounds you hear in warung and restaurant? How do you sound while you’re eating?
The sound comes together creating an orchestra of flavours . Legit. Sweet. Bitter. Salty. Gurih, Sour. Crispy, and Kriuk-kriuk!
Who said it’s rude to make sound while eating?
Happy Monday or Tuesday, here’s me enjoying Kerupuk Aci with Blackbean Hummus that my partner made! FUCK, it’s so much better than enjoying hummus with toasted bread!
Mohon maaf yg saya tahu kletikan ya untuk cemilan keripik…kalo klenikan saya baru tahu mbak…tulisannya bagus mbak ttg makanan. Ringan tapi indra perasa saya ikut bekerja alias ngiler…