Estetika dan Nostalgia Jajan Pasar
The Aesthetic and Nostalgia of Jajan Pasar. (in Indonesian and English) - responding to the latest "cewek kue" aesthetic.
This is the monthly edition of Dapur Saraswati — a newsletter from Prinka Saraswati . If you like it and want more like it in your inbox, consider subscribing. Read and listen to last month’s podcast on incorporating local ingredients in baking with Sarah Djabir here . Follow Dapur Saraswati on instagram for recipes and Indonesian history, sort of.
“Bu Prinka, jangan lupa ya buat perpisahannya. Ditunggu, lho…” Bagi orang Indonesia, hajatan - apapun bentuknya - selalu menjadi ajang makan gratis. Begitu pula perpisahan saya selepas bekerja di sebuah sekolah enam tahun lalu. Kolega - kolega saya di ruang guru pun tak segan mengingatkan tanggal terakhir saya di sekolah. Bukan bermaksud kasar tentunya, tapi sekedar pengingat untuk makan - makan dan perayaan; perempuan muda ini tak perlu terperangkap bersama perempuan - perempuan paruh baya yang hak selopnya bergemeletuk memburu kelas berikutnya.
Jajan pasar hadir dalam tiap perayaan dan waktu santai. Saya bangun jam 3 pagi sebelum adzan subuh diputar di mushola dan langsung nyetater motor menuju Pasar Kembang - berburu jajan pasar dalam berbagai warna dan rasa. Nagasari, lemper, ote-ote, lumpia, dan kue lumpur. Pasar yang dulunya bioskop dan pusat kembang ziarah ini menjelma menjadi pusat jajanan pasar pada tahun 2008. Di daerah lain di Indonesia, jajan pasar, yang juga dikenal dengan kue subuh, juga dijual saat malam mulai meninggalkan hari. Jakarta dengan Pasar Subuh Senen dan Pasar Cilandak, Singkawang dengan Pasar Hongkong, dan Yogyakarta dengan Pasar Kotagede dan Pasar Kranggan.
Ilustrasi oleh Rini (Colorclue). Check her work here
Jajan dan Pertemuan Budaya
Jajan pasar disebut juga dengan wadai, kue basah, kue subuh - kue sendiri diserap dari bahasa Hokkien (kueh). Dalam Mustika Rasa, jajan pasar adalah masakan yang disajikan sebagai hiburan; tanpa terbatas waktu, tempat, dan banyaknya yang dimakan. Serta tidak mutlak menjadi pengurang rasa lapar. Sulit untuk menentukan titik mula dan asal muasal jajan pasar. Selama sebuah budaya memiliki beras, kelapa, dan gula kelapa, maka resep akan bergulir menggunakan ketiga bahan ini. Bagi Christopher Tan, penulis buku The Way of Kueh, dalam wawancara bersama SCMP menjelaskan,
“Migrasi, penjajahan, modernisasi, dan globalisasi telah berpengaruh pada penciptaan dan perkembangan kueh”.
Namanya saja sudah menyangkut pasar; tempat pertemuan beragam orang dari berbagai daerah dan latar belakang. Menurut Woro Prabandari penyebutan jajan pasar bermula dari kudapan yang memang mulanya hadir di pasar - pasar dekat area pelabuhan. Pertemuan inilah yang menyebabkan banyak jajanan pasar memiliki pengaruh dari India, Cina, dan Portugis. Jika mengacu pada bagaimana ragam budaya ini membentuk jajan pasar, sangat disayangkan saat melihat fokus jajanan pasar di Street Food Asia, episode Indonesia, hanya berpusat pada Yogyakarta; dan memberi kesan bahwa jajanan pasar yang dipengaruhi budaya dari luar adalah jajanan pasar “modern”. Padahal memberi batas waktu pada makanan yang sudah sekian lama mengakar pada masyarakat lokal bukan hal yang mudah. Saking gado-gadonya budaya Indonesia, termasuk budaya kudapannya, hampir kebanyakan dari orang Indonesia sudah menganggap jajanan seperti Lumpia, Apem, dan Pastel adalah bagian dari sarapan dan “kudapan minuman teh” .
Jajanan berbahan dasar tepung beras, beras ketan, dan kacang hijau seperti kue talam, kue ku (kue tok), dan dadar gulung memiliki pengaruh kuat dari kuliner dan teknik memasak dari Cina. Sementara itu, jajanan khas India selatan, ikut bermigrasi ke Indonesia melalui appam dan puttu, yang selanjutnya dieja sebagai Apem dan Putu. Lalu, Portugis pun memilik peran besar dalam mengenalkan teknik dan kuliner Iberia dalam jajan pasar. Bakpao yang kita kenal merupakan gabungan dari dua budaya; Pão, roti bundar berbahan terigu gandum dari Portugis dan teknik mengukus dari Cina. Selain itu, masih ada pastel, panada, dan bika yang merupakan turunan dari kuliner Iberia yang diperkenalkan Portugis. Dalam risetnya yang berjudul “A Culinary History of the Portuguese Eaurasians”, Janet Boileau menjelajahi warisan kuliner Portugis di Asia. Jajanan yang nenek moyangnya berasal dari Portugis, seperti Pão dan Empadão, mulanya dipanggang dalam wadah bundar besar. Tetapi dengan keterbatasan ruang, warga lokal beradaptasi menggunakan wadah kecil untuk skala rumahan dan hadirlah bakpao, pastel, dan panada yang bisa dilahap untuk porsi satu orang.
Mengingat dan Memaknai Ulang Jajan Pasar
Lalu bagaimana jajan pasar dimaknai dan diingat saat ini? Baru - baru ini, media sosial diberondong diskusi tentang “estetika” terbaru. Tentunya perempuan mudalah yang menyumbang obrolan terbesar dalam topik ini. Estetik “cewek kue” yang terinspirasi dari jajan pasar mengisi reels dan video di Tiktok serta Instagram. Brand-brand pun mulai membuat konten dan berjualan produk mereka dengan klasifikasi estetika tertentu; yang serba hitam untuk #cewekmamba yang warna-warni #cewekkue . Apakah estetika ini sekedar tren? Menurut Zara Zahrina, estetika lebih bisa dilihat sebagai sebuah gaya pribadi atau personal style yang enak dipandang dan juga berfungsi sebagai usaha untuk membedakan diri dengan estetika lain.
“Apa yang disebut estetika saat ini nggak sekaku personal style, ya, yang konsisten. Di platform seperti Tiktok, seseorang bisa ganti estetika berkali-kali dalam durasi 15 detik. I suppose, tren merubah estetika menjadi semacam paket siap pakai yang orang bisa coba-coba; not unlike a costume”
Tentu, ada hubungan besar antara media sosial dan gaya pribadi seseorang. Dengan kehadiran di media sosial yang konstan, tentunya banyak bagian hidup yang ditelanjangi dan terekspos. Mulai dari gaya berbusana hingga dekorasi ruangan. “Ekspektasi dari estetika yang ditampilkan ini berujung pada bagaimana kamu bisa menyelaraskan seluruh elemen-elemen visual di kehidupanmu”, kata Zara. Lalu, apakah estetika cewek kue ini “mengharuskan” seseorang untuk memiliki segala printilan dalam ragam bias warna jajan pasar? Bisa jadi, tapi perlu dilihat seberapa lama dan seberapa besar estetika ini akan bertahan. “Menurutku, estetika ini bisa bertahan cukup lama, ya. Apalagi kalau dilihat benarnya udah mulai dari 2019, cuma baru diberi label sekarang aja. Kayak yang kamu bilang, estetika ini cukup luas definisinya. Jadi, ada ruang yang cukup luas untuk menginterpretasikannya - sehingga sangat bisa diakses banyak orang, mungkin itu kenapa bisa sangat populer”.
Dampak dari estetika cewek kue ini juga menarik. Banyak anak muda mulai melirik kue - kue yang mulai langka di pasar. Sengkulun, misalnya. Di Palembang, ia disebut Jando Berias, Sangkulon di Bangka, dan Sempura di Jawa Tengah. Ia pun dituturkan dalam Serat Centhini jilid 12, sebagai salah satu jajanan dalam kenduri yang dilaksanakan Ki Bayi Panurta. Di Betawi, ia sempat menjelma dalam beragam perayaan lintas kepercayaan; Imlek, Idul Adha, Idul Fitri, pernikahan, dan upacara sedekah bumi. Apakah hadirnya estetika cewek kue akan menghidupkan kembali sengkulun di perayaan - perayaan di Jakarta? Ataukah hanya sebagai inspirasi setelan belaka? Inikah yang akan kita ingat setiap kali mengingat jajan pasar?
Haley dari Kue Ibu Ubud punya ingatan yang hangat tentang jajan pasar. Sewaktu ia tumbuh di Solo, tetangga-tetangga sekitarnya memiliki usaha rumahan. Ia ingat betulnya legitnya kue mendut Bu Mulyo, juga nagasarinya yang manis dengan pisang raja di dalamnya. Dengan perpaduan ingatan dan rasa kangen, Haley membuka Kue Ibu Ubud secara santai. Prol tapenya yang lembut adalah ode untuk prol tape depan sebuah pasar di Solo yang ia nikmati sewaktu dulu. Bagi Fifin, ia mengingat pergi ke pasar pagi-pagi bersama ibunya. "Surga itu namanya kalau ikut Ibu ke pasar pagi-pagi terus disuruh bebas milih jajan". Haley dan Fifin adalah sekian dari 400 lebih narasumber dan responden yang memiliki nostalgia hangat akan jajan pasar. Ada kenangan menghadiri selametan, acara jemaat gereja, perayaan di rumah bersama keluarga, ataupun arisan. Bagi saya sendiri, saya selalu ingat jajan pasar sebagai bagian dari belajar matematika. Nenek saya, yang saya panggil Yang Ti, dulunya guru SD dan setiap kali saya pulang kampung ke Madiun, nenek saya mengajari saya matematika dengan mengajak saya ke pasar; menghitung totalan harga jajan pasar dan sesampainya di rumah, Yang Ti akan menanyai saya “Kalau ini tak ambil 2, sekarang lempernya sisa berapa?”. 15 tahun berikutnya, saya tidak pernah menyangka saya akan menggunakan hal yang sama untuk mengajarkan konsep satu sampai lima kepada murid saya di TK. Mungkin, kalau saya masih mengajar di SMP itu, saya akan mengajarkan geometri melalui menata jajan pasar di tampah.
Apa yang bisa kita ingat saat berbicara tentang jajan pasar? Warnanya, kah? Harganya yang murah, kah? Atau kenangan yang bisa kita sesap di mulut?
“Saya harap kita bisa ingat makanan tradisional yang mampu menghadirkan kebahagiaan dan kehangatan bersama sahabat; memori masa kecil yang menyenangkan dan cita rasa yang akrab di lidah”,
kata Haley yang mengamini harapan ini sembari mendorong perlunya meningkatkan kualitas, rasa, penampilan, dan kebersihan jajan pasar - dan menyelaraskan konsistensi ini. Saya harap kita tidak akan tiba di masa saat kita hanya bisa mengingat - atau lebih buruk lagi, mengenang jajan pasar sebagai sandingan setelan baju. Saya harap kita akan terus membelinya, menikmatinya, membuatnya, dan meneruskannya lebih dari sekedar estetika dan nostalgia.
(English)
“Ms. Prinka, don’t forget the party. We can’t wait for it!”. For Indonesians, hajatan (celebration) in any form is the chance to eat for free. Including the party for my last day of work at a middle-school six years ago. My colleagues reminded me of the following days, not because they meant that they couldn’t wait to see me leaving, but more like a reminder for a celebration; that this young lady did not have to be trapped with 50 years old ladies in their mules whose heels clacking on their way to the classrooms.
Ilustrasi oleh Rini (Colorclue). Check her work here
Jajan and Cultural Rendezvous
Jajan pasar belongs to celebrations and leisure. So I woke up at three, before the adzan was blasted in nearby mushola, and rode my bike to Pasar Kembang to hunt for jajan pasar in any shades and flavor. Nagasari, lemper, ote-ote, lumpia, and kue lumpur. This cinema and ziarah flower center turned market is the center for jajan pasar in Surabaya. Other towns also have a special pasar or market for jajan pasar that opens as earlya s dawn like Jakarta with Pasar Subuh Senen and Pasar Cilandak, Singkawang with Pasar Hongkong, and Yogyakarta with Pasar Kotagede and Pasar Kranggan.
Jajan pasar is also known as wadai, kue basah, and kue subuh - kue is a word borrowed from Hokkien language (kueh). In the Indonesian culinary bible, Mustika Rasa, jajan pasar is served as leisure and in leisure; boundless by time, place, or the amount that you should eat. It doesn’t have to be something to fill your appetite. It’s hard to pinpoint the exact beginning of jajan pasar. To Christopher Tan, who writes The Way of of Kueh, in an interview with SCMP, said that as long as the culture had access to rice, coconut, and palm sugar, recipes are bound to evolve around them.
“Migration, colonization, modernization, and globalization have all influenced the creation and evolution of kuih”.
With pasar attached to its name, jajan pasar most likely began in a market, according to Woro Prabandari. Pasar or market, where so many people from various places and cultural backgrounds meet in one place. This rendezvous is the reason why jajan pasar has influences from India, China, and Portuguese. If we watch the episode of Street Foods in Indonesia, it is a shame that the focus is merely concentrated on Yogyakarta. The show also gives an impression that the jajan pasar with influences from other cultures is seen as a “modern” jajan pasar. It’s not so easy to pinpoint exactly the time in cuisine that has been so rooted in the society. Indonesian culture is very gado-gado, mixed, including the snacks culture - that so many Indonesians think that lumpia, apem, and pastel are parts of their breakfast and tea snacks.
Jajan pasar with flour made of rice, glutinous rice, and mung beans, like kue talam, kue ku, lumpia, and dadar gulung have strong influence of Chinese tradition and culinary techniques. While jajan pasar like apem and putu are descendants of south Indian appam and puttu. Portuguese also have a big influence in introducing techniques and cuisine from Iberia into jajan pasar. The bakpao that we know today is a combination of Pão, a Portuguese soft white bread roll, and the Chinese steaming technique. There are also pastel, panada, and bika, other Iberian snacks brought by the Portuguese. In her paper,”A Culinary History of the Portuguese Eurasians”, Janet Boileau explores the heritage of Portuguese culinary legacy in Asia. Portuguese snacks, like Pão and Empadão, were initially baked in a big circular loaf. But the locals, with their limited space, adapted by cooking them in small loaves, creating jajan pasar like bakpao, pastel, and panada that you can have in one bite.
Remembering and Recontextualizing Jajan Pasar
So how do we recontextualize jajan pasar today? Recently, social media in Indonesia is flooded with a discussion of the latest “aesthetic”. Young women take a big part in this discussion. The aesthetic is called cewek kue, loosely translated as “cake girl”, inspired by jajan pasar, filling up the reels on Instagram and Tiktok. Brands have started to make contents and sell their products under this label as well; all blacks goes by “cewek mamba”, all colors go by “cewek kue”. Is this aesthetic simply a trend? Zara Zahrina has a say on this. To her, aesthetic can be seen as a personal style that’s pleasant to see, and functions as a means to distinguish oneself from other aesthetics.
“ I do however think that what is considered an "aesthetic" these days is a lot less rigid than the idea of having a consistent personal style. On platforms like TikTok there have been contents of people changing into different aesthetics within 15 seconds videos so I suppose trends turn aesthetics into ready-to-wear packages that people can try out; not unlike a costume”
Sure, there is a relation between social media and personal style. With being constantly existing on social media, of course, there are many parts in life that are stripped off and exposed. From personal style to interior decoration. “The expectation of having an aesthetic, then, is to have all of the visuals in your life be coherent and aligned”, said Zara. Thus, does it mean that by having “cewek kue” aesthetic someone has to own every little thing in the colorful shades of jajan pasar? Could be, but we have to see how it will last and how big this aesthetic can last. “I do think this is going to last a while honestly, seeing that it's been a thing since 2019 or so and has only been labeled as such recently. As you mentioned it's got such a loose definition as a style so I suppose that leaves a lot of room for interpretation, making it accessible for a lot of people which may explain its popularity”.
The affect of this aesthetic is very interesting. Many young people started to see rare jajan pasar. Take Sengkulun as an example. In Palembang, it goes by the name Jando Berias, then it takes the name Sangkulon in Bangka, and Sempura in Central Java. It’s even written in Serat Centhini volume 12, as one of the jajan served in a kenduri (feast) held by Ki Bayi Panurta. In Betawi, it existed in various inter-religion celebrations; Chinese New Year, Idl Adha, Idl Fitr, weddings, and ceremonies to bless the earth. Will the coming of this aesthetic resurrect Sengkulun back to life in celebrations all over Jakarta? Or will it just be simply an outfit inspiration? Is this what we’re going to remember every time we talk about jajan pasar?
Haley from Kue Ibu Ubud has warm memories of jajan pasar. When she grew up in Solo, her neighbors owned small business making and selling jajan pasar. She remembered the sweetness of kue mendut made by Bu Mulyo, and her sweet nagasari that comes with pisang raja in every bite. With a mixture of memori and longing, Haley opened up Kue Ibu Ubud in ease. Her prol tape is an ode of a similar thing she had, sold in front of a market in Solo. To Fifin, she remembers jajan pasar as deeply as she remembers going to markets in Ponorogo with her mother. “Going to market in the morning is heaven - especially when my mom asked me to pick any jajan I want!”. Haley and Fifin are just a few of the respondents that have fond memories of jajan pasar. For many, jajan pasar means attending selametan, church events, celebrations at home, or arisan. To me, I always remember jajan pasar as a part of learning math. My grandmother, whom I called Yang Ti, was a primary teacher. Every time I went to visit her in Madiun, she’d taught me math by taking me to the market; counting the price of the jajan pasar and, at home, she’d ask me questions like, “If I take two of these, how many lemper you’d have?”. Fast forward in 15 years, I would not expect that I’d use the same method in teaching the concept of number one up to five to kindergarteners. Perhaps, if I had stayed at that middle school, I would teach geometry by putting jajan pasar in a circular bamboo tray called tampah.
So what do we remember when we talk about jajan pasar? Is it the vibrant colors? Is it the cheap price? Or is it the nostalgia that we can taste in our mouths?
“I hope that we can remember traditional food that evokes happiness and warmth with family and friends - sweet childhood memories and familiar flavor that lingers on our tongues”,
uttered Haley, while adding that there is a need to improve the quality, flavor, presentation, and hygiene of jajan pasar - and make it constant. All in all, I hope that we are not going to start wandering how we will remember jajan pasar - or worse, reminisce jajan pasar only as outfit inspiration. I hope that we’ll still buy it, enjoy it, make it, and pass it on as something more than an aesthetic and nostalgia.