Story of A Hangover Remedy: RAWON
The midnight stew sought by the sober and the drunk. Sajian tengah malam bagi yang terjaga dan yang mabuk. Read in Bahasa Indonesia and English.
Language: Indonesian, English (scroll down for English). You’ll find a little story of Rawon, enjoyed at night by locals in Surabaya, though there is no rule of when to eat it. You will also find a recipe for Rawon Manisa dan Dal (Chayote and Lentils Rawon) and how to prepare Chayote before cooking them. Happy reading!
Di sini kamu akan menemukan sepenggal cerita tentang Rawon, yang dinikmati saat malam hari oleh warlok-warlok Surabaya, walaupun sebenarnya ya bisa dinikmati kapan saja. Kamu juga bisa menemukan resep Rawon Manisa/Labu Siam/Jipang dan Kacang Dal beserta cara menyiapkan Manisa sebelum memasaknya. Selamat membaca!
Rasanya setiap orang di Surabaya punya ceritanya sendiri tentang Rawon. Entah mereka nongkrong terlalu malam atau mabuk. Cuma dua itu biasanya.
Di Surabaya, Rawon hadir sepanjang hari hingga menjelang Subuh. Telusuri jalanan Darmo sampai gang-gang di Pucang dengan sepeda motor dan kamu akan menemukan warung - warung di pinggir jalan yang menyajikan rawon. Parkir motormu dan silahkan melangkah masuk dimana kamu bisa melihat berbagai pelanggan yang menunggu semangkok kehangatan. Warung rawon tidak mengenal status sosial. Persetan dengan hierarki! Dari bapak-bapak yang lupa bilang ke istrinya kalau main catur sampai lupa waktu, anak-anak kuliah yang kelaparan setelah nugas semalaman, laki-laki dan perempuan yang pulang dari jogetan di klab; setengah mabuk maupun sepenuhnya mabuk, atau, anak-anak usia 20-an yang pulang dari acara musik bersama teman band mereka dari luar kota. Kategori terakhir ini biasanya setengah mabuk dan mengandalkan teman mereka yang masih lumayan sadar untuk memesankan semangkuk rawon. Saya sendiri dulunya di kategori ini. Gara-gara sering bikin atau nongkrong di acara musik.
Rawon, yang khas dari Surabaya, terbuat dari daging tetelan. Potongan daging yang dekat dengan tulang ini tak hanya terdiri dari daging, tapi juga otot, yang membuat Tetelan kaya rasa dan lemak. Beberapa orang memakai Sandung Lamur, tetapi walaupun Sandung Lamur lebih lembut tetapi tidak punya lemak sebanyak tetelan yang menjadi kunci untuk kuah Rawon. Tetelan inilah yang direbus dengan air hingga menjadi kaldu. Setelah itu, campur kaldu berisi tetelan dengan Bumbu Hitam yang sudah ditumis dan masak selama 30 menit.
Seperti kebanyakan sop di Indonesia, Rawon paling enak disantap saat hangat. Di warung, kamu akan disajikan sepiring nasi yang disiram kuah Rawon beserta daging, dengan sesendok sambal terasi dan sejumput kecambah, dan piring kecil dengan pilihan sajian pendamping; Tempe Goreng dan Telur Asin. Tempe Goreng memberi gigitan renyah, sementara Telur Asin menyeimbangkan rasa rawon yang gurih dan sedikit pahit.
Walaupun warnanya jauh dari menggairahkan, Rawon menggoda setiap jiwa yang digentayangi rasa penasaran. Kehangatannya dan kuahnya yang memuaskan raga serta sukma cukup menghidupkanmu setelah gentayangan semalaman. Ada kluwek yang mampu membangunkan tubuhmu saat kamu mabuk dan jahe yang menghangatkanmu di dinginnya malam Surabaya.
Versi yang saya buat ini Rawon dengan Manisa (kalau di Semarang disebut Jipang, di bahasa Indonesia Labu Siam) dan Kacang Dal. Memang rasanya tidak berlemak seperti Rawon Daging, tapi dengan modal kaldu sayur, sudah cukup menghidupkan kembali rasa Rawon. Semoga kamu bisa membuat ini di rumah! Untuk yang rindu Surabaya, atau yang ingin merasakan bejatnya godaan Surabaya.
MENYIAPKAN MANISA/JIPANG/LABU SIAM
PREPARING MANISA/CHAYOTE/JIPANG/LABU SIAM
Cuci manisa (Wash chayote - if you have sensitive skin, use gloves)
Potong manisa menjadi dua bagian (chop into two parts)
Gosok manisa ke satu sama lain, hingga muncul getih yang berupa busa putih (brush the chayote against one another, until the foamy sap comes out)
Cuci manisa hingga busa putihnya hilang (Wash again until it’s clean)
Terakhir, kupas manisa dan potong sesuai selera. (Lastly, peel and chop)
Everybody in Surabaya has their own story of Rawon. A warm beef stew in jet-black color thanks to Kluwek (Pangium Nuts). Either they hang out for too long and it’s always good for a second dinner or they’re drunk.
In Surabaya, Rawon is served all day long until the call of morning prayers. Ride your motorbike at night along Jalan Darmo to the gang in Pucang and you’ll find warungs that serve Rawon by the side of the road. Park your motorbike and step into the warung, lines of customers are waiting for a bowl of warmth. There’s no place for social status in warung rawon. It’s the place that screams “Fuck hierarchy”. From middle-aged men who forget to tell their wives that the chess game takes longer than they’d expect, college students simply hungry for food after working on their assignments, men and women coming home from a club; half-drunk or heavily drunk, or you know, half-drunk 20-somethings from a punk show with on-tour bands from other towns. I used to associate myself with the last one. Simply because I organized and hung out at many gigs when I was in college.
Rawon is the easiest choice to take friends or bands to have dinner after a show. One warung in Pucang, Surabaya, was always on my list as an organizer. It’s located downtown and open all night long, with the bonus for the vegans; Pecel, blanched vegetables with bumbu kacang or peanut sauce. But if you’re drunk and you don’t mind eating meat, Rawon is your go-to savior.
A delicacy from Surabaya, Rawon is made with tetelan (cut of beef that sticks to the bone). This cut of beef contains meat and muscles that make Rawon so rich in fat and flavor! Some use brisket for Rawon, which is fine, but although brisket is more tender than tetelan, you won’t get the amount of fat that you want for this stew. Then, this tetelan or brisket is boiled to make the base broth. When the broth is ready, it is then mixed with Bumbu Hitam with the essential ingredient in Rawon: Kluwek (Pangium Nuts). Boil it for 30 minutes, then your stew is ready.
Like most stews, Rawon is best served when it’s warm. In warung, you’ll get a plate of rice bathed in Rawon, garnished with mungbean sprouts, with a dollop of Sambal Terasi, and a small plate of fried tempe and salted duck egg. Feel free to pick tempe, salted duck egg, or both. The fried tempe gives a crunchy bite, while the salted duck egg complements Rawon’s savory-almost-bitter broth.
Unlike the unappetizing dark color, Rawon lures you with its warmth and satisfying broth that soothes your whole body and soul. It’s the kick of Kluwek that slowly wakes your body when you’re drunk and ginger that warms you up in Surabaya’s breezy night.
The version that I make here is the vegan version made with Chayote, which I call Manisa in East Java (in Semarang and other places in Central Java they call it Jipang, while in some other parts of Indonesia they call it Labu Siam) and Lentils. While this version is not fatty like beef Rawon, but with vegetable stock, you’ll taste a subtle robust and almost bitter flavor with the same exact warmth. I hope you can make this at home; whether you miss Surabaya (like me) or you want to taste the bold flavor of Surabaya!
Chayote or as East Javanese call it, Manisa. While in Central Java, it’s called Jipang. In West Java, they call it Waluh Siam, in Manado they call it Timun Jepang, and last, in the Indonesian language, they call it Labu Siam.