Sagu Hati: Lodeh Kikil dari Jombang
Mengenang lembut dan gurihnya Lodeh Kikil dan sambel kecap petisnya yang terus menggentayangi.
Perkenalan saya dengan sagu bermula saat saya makan papeda di rumah tetangga saya yang berasal dari Ambon. Sewaktu kecil, kami tinggal di dekat area pelabuhan, sehingga bapesta dan makan-makan sudah menjadi rutinitas tiap akhir pekan. Tapi yang paling berkesan adalah saat saya menjadi pemandu tur jalan kaki di seputaran Pasar Pabean di Surabaya. Di bagian timur laut pasar, dimana biji-bijian kering, beras, dan jagung dijual, saya melihat banyak persegi kering berwarna coklat yang mulanya saya kira terasi. Saat itu saya baru tahu bahwa sagu bisa dibawa kemana-mana. Beginilah sagu dan orang-orang yang memakan sagu berkelana. Maka kolom ini, saya namai setelah sebuah perumpamaan untuk kata oleh-oleh, yang justru jarang saya dengar, tapi begitu mengena di hati: Sagu Hati.
Satu makanan yang menjadi sagu hati saya akhir-akhir ini berasal dari Jombang. Bulan April lalu, saya datang ke Jombang untuk sebuah sourcing dan sampling trip. Saya mendapat pesanan untuk mencarikan manik-manik kaca untuk kancing, juga mengatur proses sampling sebelum desain bisa mulai diproduksi.
April adalah bulan dimana padi-padi mulai menguning, menandakan bulirnya siap dipanen. Burung-burung pun mulai membuat sarang agar betinanya bisa beristirahat dan bertelur. Peristiwa-peristiwa ini adalah pertanda mangsa kesepuluh dalam almanak petani Jawa. Begitu pun di Jombang, suara traktor sayup-sayup terdengar di antara desir api yang melelehkan potongan-potongan kaca. Dari pagi hingga sore, saya bergumul dengan pengrajin manik kaca. Sesaat sebelum maghrib, saat gelatik mulai berkicau dan beterbangan menuju sarangnya, saya merampungkan pekerjaan bersama pengrajin. Lalu makan soto, rawon, atau sego kikil di warung dalam perjalanan ke penginapan. Barulah saya bisa istirahat; kalau tidak perlu menghitung biaya produksi atau kalkulasi lain.
Saya menginap di tengah kota Jombang, dekat water toren yang ikonik itu. Jadi ada banyak warung dan pedagang kaki lima yang bisa dipilih untuk sarapan. Tetapi mengingat Jombang masih berada di Jawa Timur; pilihan sarapan hampir bisa dipastikan mengerucut pada sego pecel. Mau itu pecel sambal kacang seperti biasa atau sambal tumpang yang terbuat dari tempe semangit. Hari ketiga saya di Jombang, saya mulai bosan dengan pecel (tolong jangan kasih tahu atau screenshot ini ke Ibu saya. Saya bisa dicoret dari surat hak waris kalau beliau tahu). Akhirnya saya berkeliling agak jauh sampai ke area dekat stasiun kota; mencoba mencari sesuatu yang sekiranya tidak berbumbu kacang dan tidak melulu tempe. Ada satu pedagang kaki lima yang dagangannya tampak menarik (baca: baru bagi saya). Saya tidak bisa lihat masakannya, tapi toh tulisan Lodeh Kikil di geber warung sudah cukup membuat saya penasaran.
Saya langsung duduk dan pesan satu piring. Ternyata yang hadir cukup monokrom secara tampilan warna, tapi menarik secara tekstur. Di dalam piring ada nasi pulen yang disiram kuah lodeh yang begitu terlihat seperti susu. Kalau biasanya lodeh khas jawa timur berisi manisah, terong, tewel (nangka muda), kacang panjang, ale, dan juga kadang kikil, lodeh yang hadir di depan saya justru tidak gaduh dengan sayuran. Lodeh kikil Jombang begitu sederhana dengan hanya dua isian; rebung yang diiris gepeng dan kikil atau bagian kaki sapi yang direbus perlahan dengan api kecil. Untuk tambahan, si ibu menawarkan saya paru goreng. Wah, siapa yang bisa menolak? Paru direbus sampai empuk, lalu digoreng agak basah. Aduh…
Belum sampai di situ. Sambel yang disajikan bersama lodeh kikil ini pun rasanya mampu menggenapi santan lodeh yang ringan dan paru yang berlemak ini. Saya awalnya mengira itu sambel kecap biasa, ternyata itu sambel kecap petis. Byuuuh, ini dia. Gurih menggigit khas petis yang bertemu manisnya kecap dan pedasnya cabe rawit. Wah… paduan yang pas untuk hidangan yang rasanya tidak rumit. Kuah santannya tidak kental dan tidak membingungkan di mulut, cukup untuk menghantarkan kikil yang lembut dan kenyal. Cukup untuk disandingkan dengan rebung yang dimasak dengan lembut, renyah dan tanpa langu sedikit pun. Cukup juga untuk membuat parunya terasa lebih gurih.
Mangsa kesepuluh berlangsung sekitar hampir empat minggu. Bermula di pertengahan Maret hingga minggu ketiga April. Di bulan Oktober ini, kita sudah berputar kembali ke mangsa keempat. Ada lima mangsa yang sudah kita lewati sejak panen padi di bulan April. Tetapi pun, lodeh kikil masih terkenang di mulut saya.
Hi Prinka! Really enjoy your piece of writing, the issues that you brought upon, them photos and all. Please take this as an appreciation comments... Suppose i did this comment awhile ago, kinda hit me when i like your Tweets today
And yes I also followed u on Twitter/X, I keep liking your Tweets but since am a silent reader there. I only Bookmarks or Like Tweets is all, i dont really tweets or re-tweets, and i locked my account also, tho i dont hv nothing to hide really =D
So anyway, my twitter account is @st_urchin, and my name is Andra. Just dont wanna creeps you out since i keep liking your Tweets and all =] i mean, online world can get quiet weird sometimes, if not mostly—just like real-life also i guess =D
and heres my website: an-ra.net in case u wanna check my online presence, since i dont have many of that really.
alright, am gonna leave you in peace now, and again, hope you take this as an appreciations really. hv a great day ahead Prinka! thanks!